Kamis, 19 Februari 2009

Antara Samuelson dan Marx.

Membaca buku-buku tua memiliki nilai kelebihan tersendiri kita bisa menikmati pemikiran yang dulu pernah mendisain masa depan dunia dan kemudian disain pikiran itu menjadi alat untuk mengubah sejarah di tangan politisi, militer dan elite politik. Dan kita sebagai generasi sesudah mereka dapat melihat sejarah mana yang dimenangkan.

Buku Samuelson ‘Economics’ edisi Asia terbitan 1958 menjadi cukup menarik bila diamati dari hal-hal kecil seperti kutipan chapter misalnya. Saya tak menyangka Paul Samuelson yang dikenang orang sebagai ekonom kering, arogan, narsis dan mathematic oriented ternyata memiliki kedalaman sastra yang luar biasa dalam menyusun masterpiece-nya itu. Setiap bab diberikan pengantar yang berisi cuplikan kata-kata terkenal baik dari opera, novel atau komentar singkat tokoh sejarah. Contohnya pada chapter 13 yang membahas business cycle and forecasting cuplikan yang diambil adalah dari novel William Shakespeare ‘Caesar’ yang isinya ‘ The Fault dear Brutus, is not our stars – but in ourselves. Kata-kata ini diucapkan Julius Caesar kepada kemenakannya – yang kelak menikamnya dengan pisau dari belakang- sesaat ia baru pulang bertempur dan meraih kemenangan di Perancis. Saat itu Julius Caesar dipanggil pulang senat Romawi untuk memecahkan persoalan republic yang kemudian diputuskan sendiri oleh Julius Caesar bahwa dialah yang akan menjadi kaisar dan bentuk negara republik dihapuskan. Kata cuplikan itu menunjukkan bagaimana sebuah perkiraan/ramalan tentang sesuatu adalah mempelajari kesalahan-kesalahan di masa lalu dan menentukan nilai dari rata-rata kemungkinan. Dan sebuah forecasting tentunya tak lepas dari kesalahan yang merupakan bagian paling elementer dalam pikiran manusia –the fault in ourselves. Pada pembukaan bukunya di chapter 1 (introduction) ini Samuelson mengutip Edmund Burke, negarawan dan filosof-politik Inggris yang banyak mengulas ekonomi Inggris dan anak jajahannya India. ‘ The age is chivalry is gone, that of sophisters, economist, and calculators has suceeded’. Kutipan Edmund Burke ini diambil untuk melihat bagaimana ekonomi sejak era kolonialisme menjadi alasan utama transaksi politik global yang akhirnya membentuk sejarah. Pada bab akhir (ch.38) yang membahas Alternative economics system, mengutip dari kata-kata Kitab Perjanjian Lama (Old Testament) ‘Your old men shall dream dreams, your young men shall see visions’ jelas ini pengantar yang jenius untuk menunjukkan bahwa orang tua hanya punya mimpi dan kaum muda adalah pemilik penglihatan masa depan (Visi) yang akan merubah sejarah. Dan economics memang disusun Paul Samuelson saat usianya masih 35 tahun. Buku cetakan pertama diterbitkan McGraw Hill dan laku 120.000 eksemplar, kemudian setelah edisi pertamanya dicetaklah buku itu ke dalam berbagai bahasa. Sekitar 40 bahasa sudah dicetak dan terjual 4 juta eksemplar hingga hari ini. Samuelson juga memperbaharui edisinya tiga tahun sekali. Kelak cara ini diikuti banyak ekonom penulis buku teks.

Samuelson adalah orang muda yang mampu menaklukkan generasi tua, sikapnya yang angkuh membuat ia tidak disenangi oleh rektor Harvard dan merasa tidak nyaman Samuelson pindah ke Massachusets Institute Technology (MIT) tahun 1947- sejak meledaknya buku ‘Economics’ MIT menjadi kampus yang lebih ternama dalam bidang ekonomi ketimbang Harvard. Pada usianya yang ke 32 Samuelson mendapat anugerah ‘John Bates Clark’ anugerah yang diberikan pada ekonom berprestasi di bawah umur 40 tahun. Optimisme Samuelson terhadap masa muda tergambar dalam kutipannya terhadap stanza The Prelude di ch. 3 yang diambil dari puisi William Wordsworth (kali ini tercantum pada edisi pertama bukunya).

‘Bliss was it in that dawn to be alive’

‘but to be young was very heaven’

Samuelson adalah ilmuwan yang dianugerahi umur panjang, hidup kecukupan dan tinggal di negara bebas yang makmur. Nasib berbeda dialami Karl Marx yang hidup dalam kekurangan, dikejar-kejar aparat Inggris, Jerman dan Belgia hidupnya juga tergantung dari kiriman uang pengusaha Inggris keturunan Jerman Friedrich Engels. Pertemuan dengan Engels terjadi tahun saat Marx tinggal di Paris dan mengarang tulisannya yang berjudul ‘The Economist and Philosphocal Manuscript of 1844. Tulisannya ini tak pernah diterbitkan sampai ia wafat tahun 1881. Saat di Jerman ia terlibat gerakan radikal yang membuat jalur pembuka bagi organisasi liberal untuk mengkritik monarki dan mempercepat proses industri di Jerman. Suatu saat saat ia membaca artikel Friedrich Engels yang bertajuk ‘ The Condition of the Working Class in England in 1844’ Marx merasa tertarik akan gagasan Engels. Di titik inilah kemudian hari ahli sejarah memperdebatkan ‘siapa mengkomuniskan siapa’ Marx mengkomuniskan Engels atau Engels mengkomuniskan Marx?. Hanya saja sejak perkenalannya dengan F. Engels, Marx diarahkan oleh Engels untuk mempelajari ekonomi politik. Marx dan Engels adalah ahli polemik. Mereka berdua bekerjasama menyusun buku Critique of critical critic (judul aslinya ‘The Holy family’). Awal menuju puncak karyanya adalah tulisan Marx yang berjudul ‘The Communist Manifesto’ yang versi Inggrisnya berjumlah 150 halaman. Di Baris terakhir dari tulisannya itu adalah yang paling terkenal di dunia dan merupakan kata-kata yang paling banyak memiliki inspirasi bagi gerakan penentangan Kapitalis, bunyinya begini :

“Hantu sedang membayangi Eropa – Hantu Komunisme. Sejarah masyarakat sekarang adalah sejarah perjuangan kelas. Jadikanlah kelas borjuis tergetar ketakutan menghadapi kebangkitan kaum proletar yang bersiap dengan revolusinya. Proletariat tak akan kehilangan apapun selain belenggu mereka. Mereka akan menang. KAUM BURUH DUNIA BERSATULAH. (The Communist Manifesto 1848)”. Kata-kata paling akhir menjadi jargon terkenal dan membuat orang bermimpi untuk menghilangkan penindasan.

Di Indonesia sendiri pemikiran Marx menjadi landasan penting dalam menentang kolonialisme yang ujung-ujungnya adalah kapitalisme. Sukarno sering berkata dalam pidatonya “Fase terakhir kolonialisme adalah kapitalisme” atau “ Explotation des l’homme par l’homme” jelas pemikiran Sukarno sangat dipengaruhi Marx begitu juga dengan tokoh pergerakan kemerdekaan yang lain seperti : Hatta, Sjahrir, Tan Malaka dll. Hanya saja pemikiran Marxian di Indonesia selalu disamakan dengan Komunisme baik versi Stalin atau Mao Tse Tung yang dijewantahkan dalam PKI - sebuah nama notorius dalam sejarah Indonesia modern. Padahal Marxism itu mencakup bidang yang sangat luas dan lintas disiplin ilmu. Percaya atau tidak buku Das Kapital jarang sekali dibaca oleh kaum komunis orthodox yang doyan nindas dan membasmi lawan-lawan politiknya. Kaum komunis di Uni Soviet malah jarang sekali membahas buku Marx, Das Kapital yang isinya rumit itu justru menjadi barang sakral. Di RRC malah Das Kapital tidak dikenal, para petani disana cukup Baca buku saku merah ‘The Red Book’ karangan ketua Mao maka hop..labu panenan menjadi besar. Petani-petani di RRC seakan-akan menganggap buku merah merupakan jimat ketimbang dasar-dasar filsafat inilah akibatnya sistem dogmatis dan tidak menghargai kemanusiaan sehingga manusia dijauhkan dalam hal-hal yang rasional (Di Indonesia sendiri pembahasan Das Kapital hanya masuk di dalam catatan kaki tulisan DN Aidit). Das Kapital malah ramai pembahasannya di negara bebas seperti Amerika Serikat dan Inggris. Malah di Inggris studi ilmu politik yang membahas pemikiran Marx adalah yang paling maju sedunia, inilah kenapa Budiman Sudjatmiko aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang kini meloncat ke PDI-P melanjutkan pendidikan di Inggris untuk mempelajari Marxism. Ada kejadian lucu terhadap sikap dogmatis kaum komunis terhadap ajaran Marx, yaitu sifatnya yang anti revisi. Kaum komunis garis keras justru lebih membenci orang-orang revisionis ketimbang borjuis komprador. Dalam sejarah Komunisme kaum revisionis kerap ditudingkan pada Trotsky, Liu Shao Chi, Tan Malaka dan Tito. Kedua nama terakhir menerapkan apa yang disebut Komunisme Nasional inilah kenapa Partai Murba yang berdasarkan komunisme nasional yang didirikan Tan Malaka (dengan tokoh-tokohnya yang lain seperti : Mohammad Yamin, Adam Malik, dan Chaerul Saleh) jauh lebih dibenci PKI ketimbang Partai Agama seperti Masjumi atau NU. Marx sendiri di akhir hidupnya mendapat kritikan karena dianggap revisionis.

Saya sendiri membaca buku Das Kapital edisi bahasa Inggris yang berjudul ‘Capital’ sudah lama sekali sekitar akhir tahun 80-an. Buku kalau tak salah terbitan Amerika Serikat, penerbitnya ‘Penguin’ tahun 1976. Jujur saja mungkin karena masih SMP pikiran Marx tidak masuk ke otak, jadi bacanya ndak selesai-selesai. Saya masih ingat saingan Das Kapital untuk bacaan saya yang jauh lebih impresif waktu itu ‘Di Bawah Bendera Revolusi’ sebuah buku kumpulan karya Presiden Sukarno sejak ia masih muda. Yang menarik dalam DBBR itu adalah bab ‘Indonesia Menggugat’, Sukarno menuliskan detil angka-angka statistik tanpa referensi rupanya ingatan Sukarno seperti fotografis, ia menulis ‘Indonesia Menggugat’ saat di penjara Banceuy, Bandung. Dengan alasnya kaleng tempat buang air. Dan menulis sambil duduk bersila.

Kembali ke Das Kapital tadi, terjemahan Das Kapital dalam bahasa Indonesia baru ada tahun 2004 penterjemahnya temannya Pram di penjara Buru Oey Hay Djoen, rupanya ndak Indonesia… ndak Inggris isinya sama-sama rumit. Dijamin jauh lebih mudah memahami textbook kapitalis daripada textbook Marxisme itu. Apalagi bab pertamanya yang mambahas hakikat benda, nilai surplus, dan nilai mata uang yang sangat-sangat abstrak. Tapi selepas dari bagian pertama, isi Das Kapital justru membahas kejadian sehari-hari kehidupan buruh di Inggris. Marx adalah penulis dengan kualitas sastra yang bagus, detil dan memiliki banyak referensi di kepalanya yang sanggup ia hubung-hubungkan satu sama lain dan membentuk suatu kesimpulan baru. Namun diluar konteks sastranya yang luar biasa menurut saya ada kelemahan dalam Das Kapital, pernyataannya sederhana saja ‘Bila konsepnya susah bagaimana menjalankannya?’ Rupanya perenungan ala Eropa (apalagi Jerman dikenal kaum filsafatnya gemar berpikir terlalu rumit) jauh lebih berpengaruh pada isi Das Kapital. Bandingkan dengan pragmatisme Amerika yang ada pada buku textbook Samuelson. Terlepas dari rumit dan utopisnya karya Marx ini, setidak-tidaknya Marx menciptakan kata-kata yang paling berpengaruh dalam pemikiran ekonomi seperti : nilai surplus, kapitalisme, proletariat, borjuis, vulgar economics (yang kerap dinisbahkan pada Bastiat), monopoli dan banyak lagi termasuk reproduksi.

- Segui il lo corso , e lascia dir le genti

(Jalan terus, Biarkan mereka menggerutu !!!!)

(dante alighieri,sastrawan Italia 1261-1321)

Itulah kata pembuka Marx untuk bukunya ‘Das Kapital’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar