Selasa, 17 Februari 2009

CLEOPATRA



The Real Cleopatra

Asik banget bisa menikmati rasanya siang berada di kostan. Nonton Discovery Channel : The Real Cleopatra, sambil ngemil. Menarik juga sejarah tentang Cleopatra, sampai akhirnya aku tahu, cukup banyak distorsi dalam sejarah Cleopatra yang ada selama ini. Sesuatu yang mungkin lumrah untuk kalangan sejarawan. Karena sejarah akan berbicara menurut perspektif dan kepentingan penulisnya.

Mendengar nama Cleopatra, bayangan yang ada di kepala banyak orang agaknya masih sama. Wanita cantik mempesona yang menyukai kehidupan glamour dan sarat pesta. Meski yang tersisa hanya legenda lebih 2000 tahun silam, namun sosok wanita ini mampu membuktikan eksistensinya hingga kini. Sosok wanita ini terus mendunia lewat beragam inkarnasinya yang lahir dari tangan-tangan terampil Hollywood. Sejak zaman film bisu sampai generasi sekarang, Cleopatra seakan "muncul" silih berganti dalam sosok Dewi Amor dengan berbagai nuansa. Apa gerangan yang dimiliki Cleopatra hingga dia dikenal sampai kini, meski hidupnya puluhan tahun sebelum lahirnya Nabi Isa? Kecantikannyakah? Kemolekan tubuhnya? Atau karena hal lainnya?

Yang paling sering tercermin, baik di panggung opera maupun di layar perak, adalah sosok Cleo yang kehidupannya penuh kemewahan dan pesta pora beraroma birahi seperti dimainkan oleh Theda Bara (Cleopatra–1917), kemudian Claudette Colbert (Cleopatra–Cecil B. DeMille, 1934) atau Vivien Leigh (Caesar and Cleopatra, 1946) karya George Bernard Shaw. Bahkan dalam film yang diperankan aktor dan aktris ternama semisal Elizabeth Taylor, Richard Burton dan Rex Harrison, menampakkan sosok Cleo sensual bak boneka seks yang tergambar nyaris sempurna dalam diri Elizabeth Taylor (Anthony and Cleopatra, 1963).

Memang, tampilan sosok Cleopatra tidak terlepas dari kepentingan sekaligus kejujuran para pembuatnya. Kalau diperhatikan dengan seksama, citra wanita cantik ini nampak sengaja dipermainkan, atau lebih tepatnya, dicabik bagian demi bagian untuk kepentingan sesaat. Semisal dalam film All for Love, John Dryden hanya menggambarkan sepintas saja peran Cleopatra sebagai ratu Mesir secara tradisional, sementara peran tambahannya justru lebih banyak. Begitu pula penggambaran George Bernard Shaw tentang Cleopatra sebagai penyuka takhayul, yang kemudian berkembang menjadi bengis, justru menimbulkan rasa tidak simpati kalangan tertentu.

Kisah tentang Cleopatra sebagai Ratu Mesir berawal dari moyangnya Dinasti Ptolemy yang memerintah Mesir pasca wafatnya Alexander Agung. Dilahirkan tahun 69 sebelum Masehi, Cleopatra adalah anak ketiga dari raja Mesir Auletes yang bergelar Ptolemy XII. Raja ini terkenal dengan sebutan The Flute Player. Untuk mendapatkan dukungan dalam memegang tampuk pemerintahannya, Ptolemy harus sering mondar-mandir ke Roma. Pemerintah Romawi adalah lintah darat kala itu, hingga mereka minta bayaran 10.000 talen sebagai imbalan jasa. Jumlah itu dua kali lipat APBN Mesir. Ptolemy memang tak punya banyak pilihan. Apalagi negeri yang ditinggalkan sedang menghadapi banyak masalah.

Si sulung Tryphaena, merebut kekuasaan dan tampil jadi ratu. Merasa memiliki hak yang sama, Berenice sang adik, tega membunuh kakaknya agar bisa naik takhta. Beberapa waktu kemudian, Ptolemy pulang dan dengan bantuan Romawi membunuh anaknya sendiri untuk dapat merebut kembali tampuk kekuasaan.

Mestinya, sepeninggal Ptolemy XII tahun 51 SM, kerajaan diwariskan kepada Cleopatra (18) yang saat itu sudah dijodohkan dengan Ptolemy XIII yang tak lain adalah saudaranya sendiri (sesuai dengan UU Mesir kala itu). Masa itu negeri Mesir gagal panen dan dilanda paceklik panjang. Namun Pothinus, orang kasim istana, muncul mengambil alih kekuasaan. Mengaku sebagai wali dari Ptolemy XIII yang kala itu baru 12 tahun, ia mengusir Cleopatra ke luar benteng kraton.

Pada waktu yang sama, di Roma sedang terjadi perebutan pengaruh di antara anggota triumvirat - Caesar, Pompei, dan Crassus - untuk memegang tampuk pemerintahan. Dalam pergolakan itu, Caesar berhasil memukul mundur prajurit Pompei yang kemudian mengungsi ke Mesir.


Situasi ini dengan cerdik dimanfaatkan Cleopatra. Tak sulit baginya bersekutu dengan Caesar. Plutarch melukiskan betapa kreatif dan uniknya Cleo yang sengaja membungkus tubuhnya dengan selimut, untuk menjaga kerahasiaan pertemuannya dengan Caesar. Akhirnya, Cleopatra memperoleh kembali takhta kerajaan dan Mesir tidak perlu bayar utang kepada Roma. Dengan pengaruhnya itu pula ia "memakai" Caesar untuk menumpas pemberontakan sekelompok prajurit Mesir yang tidak puas dengan pemerintahannya. Sejarah mencatat, perang saudara ini sempat membumihanguskan perpustakaan negara di Alexandria dan melahirkan misteri tewasnya Ptolemy XIII di Sungai Nil.

Cleopatra memperoleh anak dari hubungannya dengan Caesar yang diberi nama Ptolemy Caesar, dipanggilnya Caesarion. Ia membawa anak itu ke Romawi tahun 46 SM. Hingga akhirnya dia kembali ke Mesir dengan menelan kekecewaan ketika Caesar tidak memilih Caesarion sebagai pewaris takhta, tetapi memutuskan Octavian, cucu laki-laki saudaranya. Putus sudah harapan Cleo menancapkan pengaruhnya di Romawi. Dalam keputusasaan ia pulang ke Mesir.

Sepeninggal Cleopatra, Mesir mengalami inflasi besar-besaran dan korupsi. Dengan kepiawaiannya, dia berhasil menstabilkan kembali perekonomian Mesir. Cleopatra memerintah Mesir hingga akhir hayatnya.

----- cerita sejarah selesai, ntar bosen kalo kepanjangan, jika ada yang salah tolong dikoreksi -----

Sejarah tentang Real Cleopatra ini tentu saja diharapkan bisa menguak tabir Cleopatra. Terlepas dari sisi kehidupannya yang negatif, banyak hal positif yang menarik dari pribadi Cleopatra. Tujuan utama dari tulisan ini bukan untuk membalikkan image khalayak tentang Cleopatra, tapi lebih dari itu. Merekonstruksi image dalam simbol-simbol Cleopatra menyangkut substansi dan pemaknaannya. Bahwa Cleopatra adalah wanita yang amat pintar. Cleo mendapatkan pendidikan terkuat dan terkini menurut kurikulum termaju Yunani. Pujangga Romawi Cicero mengakui, Cleopatra adalah wanita terpelajar yang masih langka pada zamannya. Pengamatan Cicero membuktikan, wanita ini tidak pernah mau melakukan sesuatu tanpa mempelajarinya terlebih dahulu. Bahkan Al-Masudi, sejarawan Arab, mengatakan Cleopatra yang punya minat besar pada ilmu filsafat adalah pengarang buku-buku pengetahuan. Ini tidak mustahil, mengingat catatan sejarah di tangan Plutarch menyebutkan wanita ini menguasai tujuh bahasa (sebelum era Cleopatra, pemerintah Mesir tidak menggunakan bahasa setempat). Ada juga sumber yang menyebutkan bahwa Cleopatra juga pakar matematik dan perniagaan.

Disamping itu, Cleopatra juga memiliki kekhasan sebagai seorang Ratu Mesir. Sikap Cleopatra tidak seperti perempuan “santun” atau lelaki sejati, tetapi sebagai seorang individu yang terdorong rasa optimisme dan penuh disiplin. Cleopatra adalah satu-satunya Ratu yang telah membangunkan negaranya, seorang Ratu yang aktif serta menjauhkan Mesir dari Romawi selama 20 tahun dengan kecerdikan sikap politiknya. Pada penghujung zamannya, Cleopatra memerintah dengan cakap sehingga khazanahnya menyebabkan bunga hutang menurun sebesar 2/3 untuk standar Romawi.

Sebagai wanita yang memegang tampuk kekuasaan dan ibu tiga orang anak, Cleopatra menjalani hidup dengan penuh ketegaran. Bayangkan, seorang perempuan sendirian memerintah sebuah kawasan besar yang cukup lama menjadi ancaman bagi Romawi. Disamping urusan negara, ia tidak meninggalkan Caesarion juga sepasang bayi kembarnya. Setiap hari ia sibuk bekerja. Mulai dengan "sidang" kabinet terbatas, bertemu para penasihat, memberi persetujuan atas proyek pembangunan saluran air, atau memeriksa pemasukan pajak negara. Belum lagi menemui tamu-tamu dan para duta besar yang datang.

Sekali lagi, terlepas dari sisi gelap kehidupan Cleopatra, kisah ini memberi cerminan serta mengandung substansi bahwa kecantikan dan kemolekan tubuh bukanlah segalanya bagi seorang perempuan. Eksistensi (meski ini bukanlah tujuan) yang ada pada diri Cleopatra, bukan lantaran kecantikan juga kemampuannya menaklukkan laki-laki, seperti yang dipropagandakan orang Romawi terhadapnya. Namun lebih dari itu, kemasyhuran yang ada pada dirinya lantaran kepiawaiannya dalam membangun peradaban Mesir. Disamping kecerdikannya dalam membebaskan negerinya dari ancaman utang, korupsi serta inflasi. Juga kelihaiannya dalam membangun perekonomian rakyatnya.

Popularitas, yang biasanya didambakan kaum hawa lewat manipulasi fisik adalah sesuatu yang semu. Karena esensi keberadaan seorang perempuan tentunya lebih dari sekedar itu. Kisah Cleopatra bisa menjadi salah satu cerminan bahwa seorang wanita juga mampu membangun peradaban. Kita bisa lihat beberapa kaum hawa yang meraih popularitas karena fisiknya rata-rata akan pupus tertelan masa.

Eksistensi, popularitas maupun kemasyhuran bukanlah tujuan utama. Kalaupun mendapatkan, itu hanyalah efek samping. Kisah ini tidak untuk menunjukkan bahwa seorang wanita harus menjadi Ratu atau Presiden seperti Cleopatra. Juga tidak untuk mengajarkan bahwa seorang wanita harus menjadi politikus ulung atau anggota legislatif untuk membangun peradaban bangsanya. Karena menjadi seorang wanita adalah ketetapan, sementara apa yang bisa dilakukan oleh seorang wanita dengan segala kemampuannya adalah pilihan. Sebuah pilihan yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Yang Maha Kuasa. Karena wajah cantik dan keindahan tubuh adalah anugerah yang relatif untuk setiap wanita, sementara kemauan untuk selalu menggali potensi diri serta menjadi pendidik utama sebuah generasi yang kelak akan membangun peradaban dunia ini adalah sesuatu hal yang bisa dilakukan oleh setiap wanita tanpa batasan fisik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar