Kamis, 12 Februari 2009

Sebuah Dunia yang Dicoret dari Peta

Seseorang yang matang, konon, adalah seseorang yang telah dapat memetakan seluruh persoalan, apa pun tingkatannya, memperluas dan menimbang serangkaian pilihan, dan merumuskan sebuah pemecahan dengan ekspektasi baik-buruk yang terukur. Lucunya, suatu malam, seorang sahabat perempuan saya, yang telah memiliki semua sarana manusiawi yang secara teoretis seharusnya telah menjadikannya mampu mengatasi setiap persoalan, datang hanya untuk mengerang. Ia mengatakan bahwa semua kemampuannya itu ternyata baru saja menemukan batasnya.
“Maksudmu, ada persoalan yang sedemikian peliknya sampai riset terunggul dan puisi terdalammu pun tidak bisa memecahkannya?” tanya saya hati-hati.
“Ya.”
“Bagaimana jika kita kembali kepada nilai-nilai agama?” saran saya.
Dan suaranya tiba-tiba menusuk telinga. “Nilai agama menurut versi dan kepentingan siapa? Tolong jangan mulai lagi perdebatan yang berujung kepada rasa malu, bahwa setelah lama kita sok tahu tentang sesuatu dengan sepenuh referensi keagamaan, tiba-tiba kita tidak menemukan apa-apa selain kegetiran…”
Saya tidak tahan untuk tidak memotong kalimatnya, “Wah, malam-malam begini, betul saya sahabatmu, tetapi saya minta jangan seret saya ke neraka.”
Dan perbincangan pun berakhir. Dengan agak semena-mena sebenarnya karena saya yang lebih dahulu menutup kontaknya. Sayangnya, saya agak menyesal karena tidak pernah tahu persis persoalan sebetulnya dari sahabat saya itu.
Esoknya, saya hanya menemukan sebuah puisi Fernando Pessoa yang dikirimnya dari internet:
“Sesuatu haruslah berlangsung alamiah dan mudah Menghikmati kebahagiaan bersama-sama dengan kesedihan Merasa seperti seseorang yang melihat

Berpikir seperti seseorang yang berjalan Dan, ketika kematian menjelang, ingatlah bahwa hari-hari pun mengalami kematiannya, Dan terbenamnya matahari itu indah, dan indah juga seluruh malam yang mengikutinya… demikianlah adanya. Maka, terjadilah demikian, seperti adanya…”
Lalu sunyi. Berhari-hari berminggu-minggu. Hanya pesan Alquran bahwa Allah mengeluarkan siang dari malam dan menutup siang dengan malam sebagai salah satu tanda kebesaran-Nya, menghantui.
Tiba-tiba saja, suatu malam, ia datang. Seluruh tubuhnya terbalut baju kumal hanya dengan sebuah ransel di punggung. Ia langsung meminta maaf dengan tulus dan memeluk bahu saya yang terpaku.
“Saya ingin menyelesaikan cerita saya yang terpotong, boleh?” katanya dengan santun. Sungguh rasanya ingin saya tempeleng pipinya dengan bulu angsa.
“Saya tidak dapat memetakan cinta dalam diri saya ketika orang yang sangat saya cintai pergi karena sakitnya. Yang ada hanya kebencian, entah kepada siapa.”
“Lalu?” tiba-tiba keletihan saya lenyap.
“Lalu, saya pergi ke sebuah dusun di Imogiri, tempat seorang ibu yang dulu membantu mengasuh saya ketika bayi tinggal. Ia tidak memiliki apa pun selain kesabarannya memberi: memberi tanaman singkongnya air, memberi anak balita nakalnya tiwul, sampai, memberi cupu makam suaminya kebersihan, seraya, demi Allah, memberi saya sinar mata penerimaan. Semuanya hadir begitu alamiah dan mudah, dalam sebuah dunia yang dicoret dari peta, karena memang tidak mungkin dipetakan.”
Dan malam pun sampai ke ujungnya. Dunia itu tentu bukan dunia kaum miskin yang terisolasi di kaki gunung Imogiri, tetapi sebuah dunia subjektif perempuan dusun yang sederhana, yang tanpa sadar telah mengajarkan banyak hal dari kematangannya didera kepedihan. Sebuah dunia tidak bernama. Atau kalau pun harus diberi nama, namanya adalah cinta, dengan C besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar