Selasa, 17 Februari 2009

Mencintai

“… Nothing can come from nothing,” tulis Jostein Gaarder dalam salah satu novel filsafatnya yang terkenal. Tidak ada memang, yang dapat datang dari ketiadaan. Sesuatu seharusnya ada sebabnya. Cinta pun, harus ada alasannya.
Anda mencintai pasangan Anda karena apa? Konon, jika Anda mencintai seseorang karena hartanya, Anda akan mendapatkan harta itu. Jika Anda mencintai karena kehormatan keturunannya, Anda pun akan terimbas kehormatan itu. Dan jika Anda mencintai dan menikahi seseorang karena kebagusan parasnya, Anda pun akan segera mendapatkan paras itu.
Cinta juga adalah kekuatan, baik bagi bangsat hingga ahli ma’rifat. Lihat, di salah satu rumah tahanan di Australia, sebagian besar penghuni tahanan masuk ke sana karena menganiaya, membunuh, atau terlibat dalam kompleksitas perasaan lain dengan orang yang mereka cintai. Sementara itu, pasti juga selalu ada orang yang sujud syukur tanpa henti karena merasa dianugerahi kemampuan untuk mencintai dengan cara terbaik.
Mereka mencintai pasangannya bukan karena apa-apa lagi, tetapi karena Allah saja. Uniknya, penyederhanaan sebab mencintai menjadi “hanya karena Allah saja” itu justru sering menjadi “kekuatan yang tidak disadari”, yang membuat semua aspek baik dari pasangannya, apakah itu harta, kehormatan dan ketampanan atau kejelitaan, tiba-tiba turut datang juga menjadi milik. Anugerah-anugerah itu membuat mereka kehilangan kata untuk berterima kasih selain dengan sujud berlama-lama.
Pada awalnya, makna dari “mencintai karena Allah” mungkin terasa paling tulus, kudus, dan bahkan membebaskan. Membebaskan karena tidak ada tetek-bengek pertimbangan “bibit, bebet, bobot” yang sering menjadikan cinta menjadi sejenis barang dagangan yang hanya bisa didapat dengan harga tertentu, dan dibuang ke tong sampah jika ternyata tidak terbeli.

Tetapi kemudian, beberapa pemikir yang kompeten lantas membuatnya menjadi sebuah kategori logika juga. Saya tidak tahu persis “ciri-ciri” yang membuat seseorang yang sedang mencintai dapat dikategorikan sebagai orang yang “mencintai karena Allah saja”.
Tetapi tampaknya, tidak ada yang berani menolak jika dikatakan bahwa ciri-ciri “mencintai seseorang karena Allah saja” itu artinya adalah: mencintai sesuai dengan Alquran dan Al Hadits. Dalam konteks ini, konon, pemilihan pasangan tidak boleh hanya didasarkan kepada uang yang dipunyai, status sosial keluarga, atau kebagusan paras dan tubuh, tetapi karena keimanan dan kualitas amal.
Yang jelas, “mencintai” kini lebih sering menjadi objek analisis pemikiran dari pada proses pengasahan ketajaman rasa. Kini, jika Anda seorang pemuka agama dan menganjurkan pengikut Anda untuk “mencintai karena Allah saja”, pasti akan banyak pertanyaan yang langsung meluncur dengan inti, “Seperti apa sih mencintai karena Allah saja itu?”
Cara yang paling sekuler dalam mencintai pun doyan memakai analisis; bahwa yang namanya mencintai itu harus berdasarkan beberapa sebab, di antaranya: kagum dan hormat. Susahnya, bukankah tidak ada seorang pun di dunia normal ini yang akan selalu ada dalam kondisi istimewa itu?
Jadi, seperti apa mencintai yang terbaik itu?
“Ya … dengan mencintai sajalah,” kata teman perempuan saya suatu kali. Cinta baginya mungkin menghilangkan semua alasan, karena ia memang bukan untuk dipikirkan tetapi dikenali.
Jika dalam membina hubungan cinta, ingatan kepada-Nya ternyata mengabadikan kebahagiaan dan memunculkan hikmah dari konflik, hingga Ia jadi dekat tak terkatakan, mungkin, itulah semuanya. Singkatnya, rasakan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar