Kamis, 12 Februari 2009

Kisah Seorang Gila ...

Mungkin Anda pernah mendengar bahwa salah satu pencapaian spiritual seseorang, konon, adalah dengan terbangunnya sebuah ruang khalwat di dalam hati. Sayangnya memang tidak ada informasi umum yang memadai tentang cara menemukan, membangun, atau masuk ke dalam ruang khalwat itu.
Jika pun ada, konon lagi, informasi itu tidak bernilai apa pun selain sebuah berita bahwa telah ada seorang pejalan spiritual lagi yang berhasil sampai kepada pencapaian itu. Cara menemukan, membangun, dan masuk ke dalam ruang khalwat itu berakar dari sejarah subyektif setiap orang, yang tingkat keunikannya sepadan dengan sidik jari.
Menariknya lagi, ruang khalwat dengan Allah tidak bisa direkayasa. Terbentuk dan teraksesnya ruang khalwat itu adalah hak prerogatif Yang Maha Kuasa. Tidak bisa target waktu ditetapkan, banyak amal diprediksikan, kesucian ditakar, atau bahkan, hati diyakinkan, demi ruang khalwat itu. Logikanya sebetulnya sederhana karena di dalam ruang itu sudah tidak ada niat sebagai awal dan cita-cita sebagai akhir, selain Dia. Semua amal kehilangan alasan kecuali demi yang bukan alasan, yakni Allah saja. Jadi, di dalam ruang khalwat itu, bahkan semua amal yang dilakukan “demi ruang khalwat” itu sendiri pun tidak layak lagi untuk ada, kecuali jika jarak dan keterasingan menyakitkan yang terasakan, dapat tertanggungkan.
Pertanyaannya, siapa yang mampu menanggungnya? Ada seorang perempuan yang merasa dirinya hampir gila hanya karena ia kehilangan ruang khalwat itu, yang terbangun lewat dzikirnya. Perempuan itu sampai melakukan tindakan kufur nikmat, dengan menyesali terang-terangan anugerah-Nya. “Tuhan,” doanya. “Mengapa Kauanugerahi aku nikmat mengingat-Mu hanya untuk kemudian, merasakan sakitnya kehilangan nikmat itu?”
Ketika seorang sahabat mengingatkannya untuk bersabar, perempuan itu justru semakin menjadi-jadi marahnya. “Harus kautahu nikmatnya dzikir itu. Hanya ada Dia dan aku. Tidak ada kedukaan, kegembiraan, atau apa pun yang tidak abadi. Yang ada hanya Keabadian itu sendiri dan aku sebagai saksi. Kehilangan kenikmatan itu membuat neraka sudah kurasakan di sini, saat ini!”

Perempuan itu sepertinya memang agak gila. Lihat saja cerita spiritualnya yang terus-menerus membuatnya menyeracau: tentang sebuah cermin terakhir yang memantulkan dirinya yang tercantik, yang harus dipecahkannya dengan nama Tuhan, lalu tentang lorong gelap di baliknya, yang ternyata dipenuhi dengan wajah-wajah terburuk yang teramat menakutkan yang, Masya Allah, ternyata adalah modifikasi dari wajah-wajahnya sendiri. Juga tentang ketersungkuran dirinya dalam kesendirian, ketika ia merasa menemukan sesuatu yang paling ditakuti, dibenci, tetapi tanpa sadar diri sendiri ternyata lebih tolol dari keledai, lebih lemah dari parasit, dan lebih menjijikkan dari kotoran, kecuali Allah membuatnya tidak lagi demikian. Cerita horor itu, apa enaknya dinikmati? Tetapi, perempuan gila itu terus saja mengulanginya hingga semua orang jengah oleh ketidakpahaman.
Sampai pada suatu pagi, tiba-tiba saja, perempuan itu ditemukan rebah di sudut mesjid, masih dengan tasbih di tangan, tubuh terbalut mukena kusam dan mata terpejam, tetapi dengan senyum yang menyerupai terang purnama bulan. Ia tidur atau mati, tidak ada yang tahu pasti. Tetapi, senyumnya lebih jernih dari embun pagi. Tidak ada yang tahu, peristiwa apa yang baru ditemuinya semalam sebelumnya. Yang pasti, tidak mungkin ada orang gila sungguhan yang memiliki senyum seperti itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar